Dadan Hindayana : Jangan Heran Kalau PSSI Sulit Menang

Jakarta, SIBER88.CO.ID_Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, justru merasa senang melihat perkembangan Tim Nasional Indonesia saat ini. Dalam sebuah acara resmi pada Sabtu(22/3/2025)ia menyebut tim PSSI saat ini memberikan harapan besar untuk bisa bersaing di level internasional. Alasannya sederhana: 17 pemain di skuad saat ini merupakan produk dari pola makan bergizi sejak kecil.

Namun, Dadan juga menyentil realitas yang lebih besar – bahwa tim nasional adalah puncak gunung es dari kondisi gizi bangsa. Setiap kali tim nasional kalah, kita cenderung menyalahkan pelatih, wasit, pemain, atau federasi. Tapi mungkin ada satu faktor yang luput dari perhatian publik: gizi. Sesuatu yang sangat dasar, sederhana, tetapi justru paling fundamental.

“Jangan heran kalau PSSI sulit menang. Main 90 menit itu berat. Kenapa? Karena gizinya tidak bagus. Banyak pemain bola lahir dari kampung,” ujar Dadan lugas.

Ini bukan pernyataan kosong. Data mendukung argumennya. Sebagian besar pemain sepak bola kita lahir dari keluarga berpenghasilan rendah, dengan pola makan yang didominasi karbohidrat murah – nasi, mi, bala-bala, kerupuk, dan kecap. Sumber protein hewani seperti daging, ikan dan susu adalah barang mewah yang jarang hadir di meja makan mereka.

Menurut BGN, 60 persen anak dari keluarga miskin bahkan tidak pernah minum susu, bukan karena tidak tahu manfaatnya, tapi karena tidak mampu. Ini bukan sekadar angka. Ini cermin nyata bahwa kita belum sungguh-sungguh berinvestasi pada pembangunan manusia.

Apa hubungannya dengan sepak bola? Semuanya! Atlet bukan hanya butuh latihan, tetapi juga “bahan bakar” berkualitas. Energi untuk berlari 90 menit, kekuatan otot untuk menendang bola, kemampuan membaca permainan, hingga mental untuk menghadapi tekanan – semuanya ditentukan oleh gizi sejak masa pertumbuhan. Bahkan kecerdasan taktik dan kecepatan reaksi juga ditentukan oleh asupan protein, lemak baik, vitamin, dan mineral yang cukup.

Dadan membandingkan Indonesia dengan Jepang, negara yang sejak satu abad lalu konsisten menjalankan program gizi seimbang. Hasilnya tampak jelas: atlet tangguh, masyarakat disiplin, sains dan teknologi maju, bahkan IQ rata-rata yang tinggi. Semua itu tidak lahir tiba-tiba. Mereka menanam sejak lama dan menuai hasilnya sekarang.

Sementara di Indonesia, stunting masih menjadi masalah besar. Lebih dari 20 persen anak-anak Indonesia mengalami stunting, artinya pertumbuhan otak dan tubuh mereka terganggu sejak dini. Lalu, bagaimana kita bisa berharap mencetak atlet kelas dunia jika pondasi biologis generasi kita saja rapuh ?

Kita sering berbicara tentang reformasi sepak bola dari hulu ke hilir: membangun pusat pelatihan modern, mendatangkan pelatih asing, dan menggelar kompetisi berjenjang. Semua itu bagus. Tetapi akan sia-sia jika fondasi manusianya sudah lemah. Gizi buruk adalah luka permanen yang tidak bisa diobati hanya dengan motivasi, strategi, atau teknologi.

Lalu, muncullah jalan pintas yang sekarang banyak diambil: naturalisasi. Pemain-pemain dari Eropa yang punya darah Indonesia hadir membawa standar fisik, teknik, dan mental yang jauh lebih siap. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang mendukung: sekolah yang bagus, makanan bergizi sejak kecil, akses kesehatan prima, dan budaya disiplin. Wajar kalau mereka tampil beda.

Namun, naturalisasi hanya menyelesaikan sebagian kecil dari persoalan. Itu adalah solusi instan yang tidak menyentuh akar. Setelah mereka pensiun, setelah mereka tak lagi bisa dipanggil, apa yang tersisa untuk pemain lokal ? Apakah kita hanya akan terus mengimpor talenta, menambal lubang yang terus ada, alih-alih menutup lubang itu dari sumbernya ?

Saat ini, pemain lokal justru semakin tertekan. Mereka harus bersaing dengan pemain naturalisasi yang lahir dari sistem yang lebih maju. Di satu sisi, ini memperbaiki performa tim. Tapi di sisi lain, ini menelanjangi kenyataan: bahwa talenta lokal tertinggal bukan karena mereka malas atau kurang berbakat, tapi karena mereka dibesarkan dengan nutrisi yang tidak memadai, latihan yang tidak cukup ilmiah, dan lingkungan yang tidak mendukung.

Kalau situasi ini terus dibiarkan, maka identitas sepak bola Indonesia akan semakin hilang. Kita akan selalu bergantung pada “beli jadi” daripada membangun sendiri. Ini bukan hanya soal sepak bola, tapi soal bangsa.

Jadi, apa solusinya ?

Perubahan ini tidak cukup hanya dengan memperbaiki federasi, mengganti pelatih, atau mengadakan kompetisi internasional. Kita harus mulai dari hal paling mendasar: memperbaiki dapur keluarga Indonesia.

• Program makan bergizi nasional yang nyata, terutama untuk anak-anak usia dini dan ibu hamil.

• Edukasi gizi sejak sekolah, bukan hanya teori tetapi juga praktik – kantin sekolah harus menyediakan makanan sehat, bukan hanya gorengan dan minuman manis.

• Subsidi pangan bergizi bagi keluarga berpenghasilan rendah, agar tidak harus memilih antara kenyang atau sehat.

• Membangun fasilitas olahraga di akar rumput, agar anak-anak terbiasa bergerak, berlatih, dan tumbuh dalam lingkungan yang mendukung kesehatan fisik dan mental.

Jepang sudah membuktikan. Mereka menanam benih sejak satu abad lalu. Hari ini mereka memetik hasilnya. Kita pun bisa, jika kita mau memulai dari sekarang.

Sepak bola hanya cermin kecil dari wajah bangsa. Kalau di lapangan kita terus kalah, jangan-jangan masalahnya bukan di taktik atau pelatih – tetapi di piring makan anak-anak kita. Karena kemenangan tidak dibangun dalam 90 menit, tetapi dalam ribuan hari, dalam puluhan ribu sendok makan bergizi yang disuapkan sejak kecil.

Maka, kita bisa terus menyalahkan wasit, pelatih, atau federasi. Tapi mungkin, kekalahan itu sudah dimulai sejak dari dapur rumah kita sendiri.

Jadi, mau terus mencari kambing hitam, atau mulai menanam kemenangan dari meja makan keluarga hari ini ?